Aceh merupakan provinsi bekas konflik yang berkepanjangan, dan berakhir dengan penanda tanganan Memorandum of Understanding (MOU) antar Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Hasil kesepakatan dan perjanjian terrsebut kemudian diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Salah satu wujud implementasi dan turunan dari undang-undang tersebut adalah diberikan status Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh. Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) Aceh, pertama kali dimplementasikan pada 2008. Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) mengamanatkan Dana Otsus digunakan untuk membiayai pembangunan di Aceh, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan (Pasal 183, ayat 1).
Menurut Teuku Ahmad Dadek et.al (2022), dalam bukunya disebutkan bahwa, Provinsi Aceh sesungguhnya telah ditetapkan sebagai Daerah Otonomi Khusus sejak Indonesia Merdeka. Namun dinamika sentralisasi dan desentralisasi dengan berbagai Undang-Undang sejak Merdeka di Indonesia menyebabkan perlakuan terhadap otonomi daerah juga mengalami pasang naik dan turun. Otonomi khusus dengan UU No. 18/2001 sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak mampu meredam ketidakpuasan akibat sentralisasi di era sebelumnya, yang ditandai dengan Gerakan Aceh Merdeka dan operasi militer di Aceh yang sangat mengganggu keutuhan NKRI. Hanya kejadian luar biasa Tsunami yang kemudian mendorong diakhirinya konflik dengan ditanda tangani MOU antara Pemerintah dan GAM tanggal 15 Agustus 2005, diikuti dengan dihasilkannya UU No 11 Tahun 2006 (UU 11/2006) tentang Pemerintahan Aceh. Evaluasi pelaksanaan kekhususan/ keistimewaan Aceh menghasilkan kesimpulan bahwa kinerja pelaksanaan dan dukungan dana dengan target utama berlakunya Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh, melalui keberadaan dan keberlanjutan sepuluh kelembagaan asimetris, belum memadai. Berkurangnya dukungan pendanaan pada tahun 2023 dan habis pada tahun 2028 akan berdampak kepada kelanjutan pelaksanaan kekhususan/keistimewaan Aceh.
Percepatan pemulihan infrastruktur dan perekonomian pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan ini yang menjadi tujuan utama penyelesaiaan konflik berkepanjangan di Aceh. Namun berbagai hiruk pikuk dan gejolak gelombang dinamika politik di Aceh, telah menghambat pemerataan kesejahteraan di Aceh. Sehingga dikhawatirkan jika Aceh tidak dikelola dengan baik, maka akan terjadi perpecahan di Masyarakat dan rusaknya persatuan dan kesatuan di Aceh. Hal ini akan mengakhiri semangat perdamaian di Aceh yang telah terbentuk dengan baik selama ini.
Jika Masyarakat telah pecah
secara berkelompok, karena belum puas dengan apa yang terjadi
akibat pengelolaan kekhususan Aceh yang belum maksimal selama ini, maka dikhawatirkan akan
timbul pemahaman-pemahaman radikalisme yang berujung dengan aksi terorisme. Hal
merupakan kerugian terbesar bagi Aceh dan dapat merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara serta menghilangkan semangat perdamaian yang telah
terbentuk selama ini. Maka dari itu, sudah sepatutnya setiap Masyarakat Aceh
berkewajiban dalam merawat perdamaian, persatuan dan kesatuan di Bumi Serambi
Mekah ini.
Baitul Mal merupakan Sebagai daerah yang memiliki Otonomi
Khusus, saat ini Aceh telah terbentuk lembag-lembaga keistimewaan Aceh, seperti
misalnya: Lembaga Wali Nanggroe Aceh, Majelis Adat Aceh, Baitul Mal Aceh dan
lainnya, yang lembaga-lembaga ini terbentuk karena kekhususan Aceh dan tidak
ada di daerah provinsi lain.
Baitul Mal Aceh
(BMA), adalah salah satu lembaga non struktural Daerah Aceh yang didirikan
berdasarkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, yang
diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama
dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap
anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan
yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam (Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007).
Baitul Mal memiliki kewenangan berdasarkan syariat islam dan ketentuan perundang-undangan, dengan fungsi dasar yaitu :
- mengurus dan mengelola
zakat, wakaf, dan harta agama; - melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat;
- melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama lainnya;
- menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
- menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syari’ah; dan
- membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling menguntungkan, (Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007).
Baitul Mal Aceh (BMA) sebagai salah satu lembaga non struktural di Aceh dalam pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat di Aceh. Berdasarkan pengamatan penulis, dalam tiga tahun terakhir (2020-2022), BMA telah fokus dan terstruktur dalam mendsitribusikan zakat produktif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat Aceh, melalui Program Bantuan Modal Usaha Mikro.
Baitul Mal juga diharapkan mampu menghimpun zakat secara maksimal dan berkesinambungan untuk kemudian didistribusikan dalam bentuk zakat produktif, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Zakat tidak hanya digunakan dalam hal konsumtif, namun juga dalam hal produktif. Secara umum zakat produktif adalah pendayagunaan zakat secara produktif yang pemahamanya lebiha kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran. Zakat produktif diartikan sebagai zakat dalam bentuk harta atau dana dan diberikan kepada para mustahiq yang tidak di manfaatkan dan dihabiskan secara langsung untuk konsumsi keperluan tertentu, tetapi dikembangkanatau digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara terus – menerus, (Abdul Wahab Hasbullah, 2020).
Maka zakat produktif ini diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga mampu menangkal dan menekan pemicu radikalisme di Aceh. Karena salah satu pemicu radikalisme selama ini diantaranya adalah kurangnya pemahaman tentang beragama, faktor kesejahteraan dan kemiskinan. Orang yang radikal sudah tidak mampu mengendalikan akal sehatnya lagi, sehingga lupa terhadap kewajiban bela negara, cinta tanah air dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam islam sama-sama kita ketahui bahwa cinta tanah air adalah bahagian dari iman. (HSB*)
Penulis :
Hasbi
Koorbid. Blogger & IT
Duta Damai BNPT RI Regional Aceh