Terorisme merupakan ancaman yang terorganisir dan jaringannya luas, sehingga mengganggu stabilitas keamanan nasional maupun internasional. Indonesia masih belum terbebas dari ancaman terorisme, mengingat banyak kasus teror yang mewarnai bangsa ini, seperti bom Bali, JW Marriot, pelatihan militer di bukit Jalin, Aceh, Bom Thamrin, Santoso, dan lainya. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi magnet menyebarkan paham radikalisme, kemudian melakukan teror melalui doktrinnya.
Radikalisme merupakan sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner, dengan menjungkirbalikkan nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi aksi ekstrem. Tentunya potensi radikalisme dan terorisme di suatu daerah dapat dicegah, melalui pendekatan sosial budaya berbasis kearifan lokal yang bijaksana dan bernilai luhur.
Aceh sebagai daerah bekas konflik dan baru saja merayakan peringatan 17 tahun Perdamaian Aceh, antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia, juga disinyalir tak luput dari sasaran penyebaran paham radikalisme. Terbukti dari latihan militer teroris di bukit Jalin pada 2010, Aceh Besar. Termasuk ditangkapnya beberapa orang yang terlibat jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dari Aceh pada pertengahan 2022. Hal ini membuktikan bahwa Aceh yang masyarakatnya mayoritas muslim masih menjadi sasaran untuk penyebaran paham radikalisme ini.
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 2 tahun 2010 tentang Terorisme menyebutkan bahwa hukum dari aksi teror/pelaku teror/terorisme adalah haram dan dosa besar, karena berdampak merusak bagi aspek keamanan, ekonomi, keagamaan, edukasi,psikologis serta memperburuk citra agama dan pemeluknya. Status hukum yang sama juga ditetapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ada beberapa rekomendasi yang dikeluarkan oleh MPU Aceh. Pertama, menyarankan kepada pemerintah untuk dapat berlaku lebih tegas dalam penegakan hukum termasuk penindakan terhadap aliran-aliran yang menyimpang dari Syariat Islam
Kedua, menyarankan kepada Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap aliran-aliran yang dapat menimbulkan kesalah pahaman dalam masyarakat tentang jihad tujuan dan sasarannya.
Ketiga, manyarankan kepada pemangku kepentingan bidang pendidikan untuk dapat memasukkan materi anti terorisme ke dalam muatan kurikulum. Keempat, mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing terhadap isu-isu negatif yang berkembang sebelum berkonsultasi dengan ulama, tokoh masyarakat dan pihak terkait lainnya.
Aceh merupakan provinsi ke-16 di Indonesia yang memiliki Duta Damai, melalui seleksi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Duta Damai ini nantinya bertugas untuk menyebarkan konten-konten perdamaian, kebaikan, moderasi berbangsa, moderasi beragama serta melaksanakan kegiatan-kegiatan bersama stakeholder daerah dan rekan duta damai di provinsi lainnya untuk menyuarakan perdamaian dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Pakar intelijen, Soleman B Ponto, menyebutkan unsur pembentuk teror ada sembilan, yaitu pemimpin, tempat latihan, jaringan, dukungan logistik, dukungan keuangan, pelatihan, komando dan pengendalian, rekrutmen serta daya pemersatu. Pembentuk teror tersebut akan gagal jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka di sinilah salah satu peran Duta Damai Aceh memutus mata rantai unsur tersebut guna mencegah terbentuk paham radikalisme, baik melalui media sosial maupun aksi nyata.
Merujuk fatwa MPU Aceh, tampaknya Duta Damai Aceh memiliki misi yang sama dan mengemban tugas mulia, dalam rangka mencegah paham radikal melalui literasi perdamaian, berkolaborasi dengan tokoh agama yang mempunyai pengaruh di Aceh. Kehadiran Duta Damai Aceh ini membawa pendidikan perdamaian masyarakat berbasis kearifan lokal, dalam rangka mencegah penyebaran paham radikalisme.