Toleransi secara Bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang berarti
membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran, mendiamkan membiarkan (KBBI, 1989:955). Dalam Bahasa Arab kata toleransi (mengutip kamus Al-munawir disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada) Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat dengannya.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendirinya sendiri. Misalnya agama, Ideologi, Ras.
Tecatat puluhan kasus intoleransi terjadi di Indonesia sejak 2019-2023. Angka ini disampaikan Wakil Direktur Direktorat Sosial Budaya Baintelkam Polri, Chaerul Yani dalam forum “Pemberdayaan FKUB dalam Mendukung Sukses Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 yang Aman dan Damai di Jakarta, Jumat, 18 November 2023. Dari data yang dipaparkan, terjadi 7 kasus intoleransi di 2019, 14 kasus di 2020, 11 kasus di 2021, dan 3 kasus di 2022. “Pada 2023, kasus intoleransinya cukup tinggi hampir setengahnya ada 30 kasus.
Ini menandakan bahwa intoleransi ini dikaitkan dengan beberapa persoalan lingkungan strategis yang ada, baik itu lingkungan regional maupun nasional ini sangat memengaruhi,” kata Chaerul.
Bahkan Dari 10 kota paling intoleran di Indonesia, Provinsi Aceh “menyumbang” tiga kota yang dituduh paling buruk dalam pengelolaan keberagaman dan toleransi, yaitu Sabang pada urutan ke-4 dengan skor 4,257, Banda Aceh (6/4,393), dan Lhokseumawe (9/4,493). Kota-kota “terburuk dalam pluralisme” ini bersanding dengan kota-kota lain seperti Cilegon, Banten; Depok, Jawa Barat (2); Padang (3), dan Pariaman (8), Sumatera Barat; Mataram, NTB (5); Medan, Sumatera Utara (7); dan Prabumulih, Sumatera Selatan (10).
A. Kemajemukan Masyarakat
Sebagai bagian dari Indonesia, kita sadar betul bahwasanya kita berada dalam masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Secara umum masyarakat majemuk, merupakan sebagai sekumpulan orang-orang atau kelompok yang berbeda, dan berbaur menjadi satu. Dimana sekumpulan orang-orang atau kelompok tersebut memiliki memiliki perbedaan dalam hal agama, bahasa, kebudayaan, pandangan hidup dan berbeda dari dari adat istiadatnya.
Meskipun berbeda-beda, umumnya mereka dapat bersatu atas dasar tujuan yang sama seperti arti dari Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda namun tetap Bersatu jua.
B. Implementasi Toleransi Di Warung Kopi
Masyarakat Indonesia telah mengenal kopi sejak zaman kolonial Belanda yang ditandai dengan dibukanya perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo, Aceh. Awalnya masyarakat mengkonsumsi minuman kopi di saat waktu senggang di rumah mereka masing-masing, namun dalam perkembanganya tradisi minum kopi tidak lagi hanya dilakukan di rumah melainkan telah menyebar di berbagai pelosok dari desa hingga di perkotaan. Perkembangan tradisi minum kopi di pusat perkotaan ini di tandai dengan berdirinya berbagai warung kopi atau juga dikenal dengan kedai kopi sehingga Warung kopi adalah suatu tempat seseorang atau sekelompok orang yang menikmati minuman berupa kopi.
Penulis dalam hal ini mengambil daerah asal penulis sendiri sebagai contoh yaitu Aceh, yang tidak hanya di kenal dengan julukan Serambi Mekkah, namun juga Serambi Kopi, Karena hampir di setiap sudut kota terdapat Warkop yang siap melayani pelanggannya, mulai dari pagi setelah shalat Subuh hingga pagi hari lagi menjelang Subuh.
Posisi warung kopi di Aceh dapat dipahami melalui dua konsep penting: ruang publik (public sphere) dan ruang ketiga (third Place). Ruang publik, menurut Habermas, adalah ruang tempat orang-orang meninggalkan ruang privasi mereka untuk berkumpul bersama, bernegosiasi dan berdiskusi tentang apa pun baik hal kecil sehari-hari hingga politik-sosial. Ia terbuka untuk khalayak umum tanpa dibatasi umur, kelas sosial, gender, ras, dan agama. Siapa pun yang masuk ke dalam ruang ini, menurut Habermas, akan dianggap setara karena segala status yang dimilikinya akan ditanggalkan.
Penulis sendiri sering melihat acara – acara dakwah di warung kopi yang mengumpulkan jamaahnya untuk mendengarkan ceramah sambil menyeruput secangkir kopi. Penulis juga pernah melihat warga Aceh yang beragama muslim nongkrong di tempat warung yang beragama non-muslim sehingga sangat terlihat implementasi toleransi dari warung kopi, bahkan pada bulan Ramadhan pun warung non – muslim diijinkan tetap buka selama saling menjaga toleransi dan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Warung kopi dapat menjadi wadah yang tepat untuk menumbuhkan nilai toleransi dan mempererat hubungan antarmanusia yang multikultural. Dengan menerapkan nilai toleransi di warung kopi, kita dapat membantu untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Ada beberapa cara untuk menerapkan nilai toleransi melalui warung kopi. Pertama, warung kopi dapat menjadi tempat untuk mempelajari dan memahami budaya lain. Kedua, warung kopi dapat menjadi tempat untuk mempromosikan dialog keagamaan. Di warung kopi, orang-orang dari dapat bertemu dan berdialog sehingga dapat membantu untuk membangun saling pengertian dan menghormati sesama. Ketiga, warung kopi dapat menjadi tempat untuk merayakan keragaman. Di warung kopi, orang-orang dari berbagai suku bangsa dapat bersama-sama menikmati seni dan budaya mereka masing-masing. Hal ini dapat membantu untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Beginilah toleransi di warung – warung kopi yang terdapat di Aceh, maka tidak benar jika Aceh dikategorikan sebagai salah satu daerah yang intoleran.
Penulis :
Baihaqi
Wakorbid. Bidang IT & Blogger
Duta Damai BNPT RI Regional Aceh