Di Aceh, tradisi budaya di akhir Ramadhan memiliki peran penting dalam menjaga toleransi antar umat beragama. Meskipun Aceh dikenal sebagai provinsi dengan mayoritas penduduk Muslim yang tinggi, tradisi-tradisi budaya di akhir Ramadan mencerminkan semangat keberagaman dan toleransi yang kuat di antara masyarakatnya.
Salah satu tradisi yang mencerminkan toleransi adalah tradisi “ngabuburit” di Aceh. Ngabuburit adalah istilah yang digunakan untuk menyebut aktivitas menyambut waktu berbuka puasa. Meskipun pada umumnya dikaitkan dengan umat Muslim, di Aceh tradisi ini tidak hanya melibatkan umat Muslim tetapi juga anggota komunitas lainnya, termasuk umat non-Muslim. Masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan budaya sering kali berkumpul bersama di sepanjang jalan-jalan kota untuk menikmati hidangan dan suasana yang ramai jelang berbuka puasa. Hal ini menciptakan kesempatan bagi orang-orang dari berbagai latar belakang untuk saling berinteraksi, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan sosial.
Selain itu, tradisi silaturahmi juga sangat penting di akhir Ramadan di Aceh. Silaturahmi adalah praktik berkunjung atau saling mengunjungi antara tetangga, teman, dan keluarga, yang sering kali dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini tidak hanya berlaku di antara umat Muslim, tetapi juga di antara umat beragama lainnya. Dalam silaturahmi, terjalinnya hubungan yang baik antar umat beragama menjadi salah satu fokus utama, dengan saling memaafkan, berbagi kebahagiaan, dan mempererat persaudaraan.
Selain itu, dalam menyambut Idul Fitri, Aceh juga dikenal dengan tradisi “Sembahyang Hari Raya” yang diadakan di lapangan terbuka. Meskipun ini adalah tradisi Islam, tetapi tidak jarang umat beragama lain juga turut serta dalam memeriahkan dan menghormati acara tersebut. Hal ini mencerminkan semangat toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Aceh.
Ada juga Tradisi Meugang di Aceh merupakan salah satu tradisi budaya yang khas di Aceh menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini biasanya dilakukan pada hari terakhir bulan Ramadan atau pada malam sebelum Hari Raya Idul Fitri. Meugang berasal dari kata “uë” yang berarti “halal” dan “géng” yang berarti “daging”.
Jadi secara harfiah, Meugang berarti memotong hewan ternak untuk memperoleh daging halal yang akan dikonsumsi selama Hari Raya Idul Fitri. Tradisi Meugang dimulai dengan pemotongan hewan ternak, biasanya sapi atau kambing, sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat setempat. Proses pemotongan hewan dilakukan secara syariat, yaitu dengan menyebut nama Allah dan mengucapkan doa. Daging hasil pemotongan kemudian dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan orang-orang yang membutuhkan, termasuk mereka yang kurang mampu. Bagian daging yang tidak langsung dimakan akan diolah menjadi berbagai hidangan spesial untuk disajikan selama Hari Raya Idul Fitri.
Selain sebagai bentuk persiapan menyambut Hari Raya Idul Fitri, Meugang juga memiliki makna sosial dan keagamaan yang dalam. Tradisi ini mencerminkan semangat kebersamaan, kerukunan, dan kepedulian terhadap sesama, di mana masyarakat saling berbagi dalam momen yang berkesan ini. Bagi umat Muslim, Meugang juga merupakan peluang untuk menjalankan ajaran agama dalam hal zakat fitrah, di mana daging hasil pemotongan hewan akan didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan sebagai bagian dari amal kebajikan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Dengan demikian, Meugang tidak hanya merupakan tradisi budaya yang turun-temurun di Aceh, tetapi juga menjadi momen penting untuk memperkuat ikatan sosial, menjalankan ajaran agama, dan mengekspresikan nilai-nilai solidaritas dan kepedulian terhadap sesama. Tradisi ini menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dari perayaan Hari Raya Idul Fitri di Aceh, yang memberikan warna dan
kekayaan budaya tersendiri bagi masyarakat setempat.
Secara keseluruhan, tradisi-tradisi budaya di akhir Ramadan di Aceh tidak hanya menjadi sarana bagi umat Muslim untuk merayakan momen suci ini, tetapi juga menjadi ajang untuk mempererat toleransi, kerukunan, dan persaudaraan antar umat beragama. Dalam suasana yang penuh dengan keberagaman ini, masyarakat Aceh memperlihatkan bahwa harmoni antar umat beragama dapat terwujud melalui penghargaan terhadap perbedaan dan semangat saling menghormati.
Penulis :
Benny Syuhada, S.IP., M.Si.
Wakorbid. Hubungan Antar Lembaga & Kemitraan Strategis
DD BNPT RI Regional Aceh