Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April. Penentuan tanggal ini erat kaitannya dengan kepergian penyair terkemuka Indonesia Chairil Anwar pada 28 April 1949. Si Binatang Jalan begitu sapaan akrabnya, Chairil Anwar merupakan penyair yang lahir dan dibearkan di Medan pada 26 Juli 1922, Beliau diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Puisinya menyangkut berbagai tema; mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, cinta hingga tak jarang multi-interpretasi. Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke jakarta dan muali mempelajari sastra. Chairil Anwar kawin dengan Hapsah, seorang putri Haji Wiriaredjo pada tanggal 6 september 1946 di Kerawang. Pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai pada tahun 1942 ketika ia mencipta sebuah sajak yang berjudul “Dia menulis sampai dengan akhir hayatnya, yaitu pada tahun 1949. Pada tahun 1949 itu ia menghasilkan enam buah sajak, yaitu “Mirat Muda” “Chairil Muda” “Buat Nyonya N” “Aku Berkisar Antara Mereka” “Yang Terhempas dan Yang Luput” “Derai-Derai Cemara” dan “Aku Berada Kembali”.
Kesungguhan Chairil untuk mencipta didukung oleh kesungguhannya mempelajari sajak-sajak para pujangga terkenal dari luar negeri. Istrinya, Hapsah, mengatakan bahwa jika Chairil Anwar berada di rumah, tidak ada lain yang diperbuatnya kecuali membaca, sampai di meja makan pun ia membawa buku, menyuap nasi sambil membaca. Di tempat tidur juga begitu, ia selalu membaca sajak-sajak dan berusaha memberikan pengertian. Hal itu dapat dilihat dari hasil salinannya menerjemahkan sajak-sajak sastrawan asing. Dia menyalin sajak R.M. Rilke (Jerman), H. Marsman (Belanda), E. du Perron (Belanda), dan J. Slauerhoff (Belanda), serta Nietzsche (Jerman). Dia menerjemahkan sajak De Laatste Dag Der Hollanders op Jawa karya Multatuli dengan judul “Hari Akhir Olanda di Jawa”. Dia juga menerjemahkan sajak The Raid karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul “Kena Gempur”. Sajak yang berjudul Le Retour de l’enfant prodigue karya Andre’ Gide (Perancis) diterjemahkannya dengan judul “Pulanglah Dia Si Anak Hilang”.
Dalam perjalanan kariernya sebagai penyair Chairil Anwar tidak sedikit mendapat tantangan. Dia mendapat tantangan dari Sutan Takdir Ali sjahbana ketika Sutan Takdir Alisjahbana menolak penerbitan sajak Chairil di Pujangga Baru. Namun, Sutan Takdir Alisjahbana akhirnya mengakui kebesaran Chairil dan menyebut sajak-sajak Chairil sebagai “sambal pedas” yang “menikmatkan”. Yang hendak menyingkirkannya adalah pengarang kelompok Lekra pada paruh kedua dasawarsa 1960-an. Kelompok Lekra itu menghujat Chairil Anwar sebagai penyebar sikap individualis dan wawasan humanisme universal yang dianggap menghambat revolusi dari visi kaum komunis. Selain itu, ada juga kelompok yang menyebut Chairil Anwar sebagai plagiator atas beberapa karya penyair Amerika, Belanda, dan Cina. Selamat Hari Pusisi!
“Jangan mau jadi pengecut, hidup sekali harus berarti. Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti, kepercayaan harus diperjuangkan”
–Chairil Anwar
Penulis :
Melsa Rayan Sari