Duta Damai BNPT RI Regional Aceh – Hari Penyandang Disabilitas Internasional, 3 Desember 2024, telah tiba. Seperti biasa, linimasa media sosial penuh dengan pesan solidaritas, video motivasi, dan janji-janji perubahan yang entah kapan akan terlaksana. Momen ini memang penting, tapi mari kita olah dengan pendekatan ringan yang tetap menyentuh. Karena, bukankah hidup itu lebih indah dengan sedikit humor?
Lebih dari Sekadar “Inspirasi”Setiap Hari Penyandang Disabilitas Internasional, kita sering melihat narasi yang menjadikan teman-teman difabel sebagai “inspirasi”. Ini memang niatnya baik, tapi kadang caranya bikin mereka terlihat seperti alien yang baru mendarat di bumi.Misalnya, orang sering berkata, “Keren banget ya, meskipun difabel, dia bisa kerja dan sukses!” Ehem, sebentar. Kok ada kata “meskipun”? Apakah keberhasilan seseorang harus selalu dikaitkan dengan disabilitasnya? Kenapa tidak bilang saja, “Keren banget ya, dia sukses karena kerja keras dan bakatnya!” Mari kita mulai mengganti kekaguman berbasis rasa iba dengan penghargaan berbasis kesetaraan.
Tantangan Infrastruktur: Jalan Berliku ala IndonesiaKalau bicara soal hak aksesibilitas, kita seperti mendengar cerita lama yang tak pernah selesai. Trotoar untuk difabel, misalnya. Ide dasarnya luar biasa, tapi eksekusinya sering membuat kita bertanya-tanya: apakah perencanaannya dilakukan sambil tutup mata? Jalur kursi roda sering kali berakhir di tangga, atau yang lebih kocak, langsung menghadap tembok.Ada lagi soal toilet difabel di gedung-gedung umum. Banyak yang dilengkapi logo kursi roda, tapi ukurannya sempit seperti ruang ganti di toko pakaian. Jadi, sebenarnya toilet itu difabel-friendly atau hanya gimmick untuk lolos sertifikasi?Dan jangan lupa masalah parkir. Tanda parkir khusus difabel sering kali diabaikan. Pengendara tanpa disabilitas dengan santainya memarkir mobil di sana, dengan alasan, “Cuma sebentar, kok.” Sebentar kalau dijumlahkan tiap hari bisa jadi selamanya, kan?
Pendidikan dan Peluang Kerja: Masih Ada PR BesarDi dunia pendidikan, tantangan bagi penyandang disabilitas masih besar. Banyak sekolah belum inklusif. Entah karena fasilitas yang tidak memadai atau karena kurangnya pelatihan bagi guru untuk memahami kebutuhan difabel. Akibatnya, orang tua sering kali terpaksa memilih homeschooling atau sekolah khusus, meskipun anak mereka punya potensi besar untuk bersaing di dunia luar.Di dunia kerja, keadaannya tidak jauh berbeda. Banyak perusahaan yang memajang slogan “ramah difabel,” tapi proses seleksi pekerja sering kali tidak mendukung. Tes fisik yang tidak relevan dan lingkungan kerja yang kurang aksesibilitas membuat penyandang disabilitas sulit bersaing. Lucunya, jika mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, ada saja yang bilang, “Wah, hebat banget, ya.” Seolah-olah keberhasilan itu terjadi karena keberuntungan, bukan kemampuan.
Teknologi: Harapan di Ujung JariNamun, di tengah semua tantangan, teknologi telah menjadi penyelamat. Aplikasi pembaca layar, alat bantu komunikasi, dan perangkat berbasis AI telah memberikan kesempatan baru bagi teman-teman difabel untuk menjalani hidup yang lebih mandiri.Sayangnya, teknologi canggih ini sering kali mahal atau sulit diakses di daerah terpencil. Akhirnya, manfaatnya hanya dirasakan segelintir orang. Perlu ada kebijakan yang lebih proaktif agar teknologi ini bisa dinikmati oleh semua, bukan hanya mereka yang tinggal di kota besar atau punya kantong tebal.Tapi teknologi juga bisa jadi bahan lucu-lucuan. Pernah dengar cerita algoritma pengenalan wajah yang gagal mengenali orang dengan ciri fisik tertentu? Atau aplikasi navigasi yang memberikan rute mustahil bagi pengguna kursi roda? Ini seperti lelucon yang ingin kita tertawakan, tapi sekaligus bikin ingin menangis.
Humor sebagai Senjata DifabelHal yang paling menarik dari komunitas difabel adalah kemampuan mereka menggunakan humor untuk menghadapi stigma. Misalnya, seorang teman tunanetra pernah bercanda, “Kalau saya lupa nama orang, gampang, tinggal bilang, ‘Maaf, saya nggak lihat wajah Anda.” Humor ini bukan sekadar hiburan, tapi cara mereka menunjukkan bahwa mereka tak butuh belas kasihan, melainkan penghargaan.Ada juga cerita dari teman difabel fisik yang bercanda, “Enaknya jadi saya, nggak usah capek-capek berdiri di antrean panjang. Kalau ada yang komplain, tinggal bilang, ‘Coba aja rasain posisi saya dulu.” Humor seperti ini mengajarkan kita untuk memandang mereka dengan cara yang lebih santai dan setara.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?Hari Penyandang Disabilitas Internasional adalah momen untuk lebih dari sekadar refleksi. Kita harus mulai mengambil tindakan nyata:
- Tingkatkan Infrastruktur: Jangan hanya bangun jalur kursi roda, tapi pastikan jalurnya tidak berakhir di tangga atau lubang got.
- Perbaiki Pendidikan Inklusif: Latih guru dan sediakan fasilitas yang memadai di sekolah-sekolah agar anak-anak difabel merasa diterima.
- Dorong Kesetaraan di Dunia Kerja: Hapus diskriminasi dalam rekrutmen dan sediakan lingkungan kerja yang mendukung.
- Promosikan Teknologi Aksesibel: Pastikan alat bantu disabilitas dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Mari Bersama Membangun KesetaraanHari ini, mari kita berhenti menganggap teman-teman difabel sebagai “inspirasi” yang jauh dari jangkauan kita. Mereka adalah bagian dari kita dengan hak, mimpi, dan potensi yang sama. Kita perlu berhenti memandang mereka dengan rasa iba atau kagum berlebihan, dan mulai membangun masyarakat yang benar-benar inklusif.Jadi, di Hari Penyandang Disabilitas Internasional ini, jika Anda melihat seseorang menyerobot parkir difabel atau mengabaikan jalur akses, jangan hanya diam. Ingatkan dengan lembut (atau keras, kalau perlu). Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, seperti menghormati hak orang lain.
Selamat Hari Penyandang Disabilitas Internasional! Mari rayakan dengan humor, aksi nyata, dan semangat untuk kesetaraan.
Penulis :
Benny SyuhadaDuta Damai BNPT RI Regional Aceh