Aceh, dikenal dengan daerah yang memiliki sejarah panjang tentang perempuan, konflik, gempa, tsunami, dan lainnya. Dari berbagai macam sejarah tersebut tentu terdapat sosok perempuan yang berada di balik berbagai kejadian tersebut. Perkembangan dan kemajuan dalam berbagai segi kehidupan manusia telah membawa perubahan dalam nilai-nilai dan norma-norma budaya dalam kehidupan nyata. Namun terdapat sosok perempuan yang jarang muncul ke publik sebagai tokoh berpengaruh dalam pembangunan. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat akan sosok perempuan yang dianggap rendah dan tak pantas.
Peran perempuan bagi kelangsungan hidup manusia di dunia sama besarnya dengan peran laki-laki, terbukti dengan populasi perempuan yang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Secara alamiah, perempuan bahkan mengemban peran terbesar bagi kelangsungan hidup manusia. Kata lain dari perempuan adalah wanita. Namun istilah wanita dalam KBBI disebut sebagai perempuan dewasa. Perempuan cendrung juga dimaknai sebagai makhluk feminin, cantik, keibuan lemah lembut dan suka berhias diri. Istilah yang sederhana muncul menurut Rismawati, 2019 yang menyatakan perempuan adalah kaum feminis yang bisa hamil, melahirkan anak dan menyusui. Namun pengertian dalam beberapa rujukan tersebut lebih pada peran pokok perempuan secara naluriah.
Di Indonesia ada Raden Ajeng Kartini yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita melalui tulisannya “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang kemudian digelari sebagai tokoh pahlawan nasional. Selain RA. Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita, ada banyak perempuan lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia yang digelari sebagai pahlawan nasional karena turut serta dalam berbagai perjuangan. Khusus untuk Aceh, Aceh dikenal dengan daerah yang memiliki sejarah panjang tentang perempuan. Banyak tokoh perempuan Aceh yang tercatat dalam sejarah, mulai dari Keumalahayati yaitu perempuan pertama di dunia yang memimpin armada laut “Inong Balee” melawan penjajah, hingga Ratu Nahrisyah, pemimpin Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 yang memajukan penyebaran Islam. Selain itu, terdapat Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia, dua pahlawan nasional yang gigih berjuang melawan kolonialisme Belanda. Ratu Safiatuddin juga mencatatkan namanya sebagai salah satu pemimpin bijaksana dalam Kesultanan Aceh pada abad ke-17. Tokoh lainnya, seperti Tengku Fakinah dan Pocut Meuligo, juga dikenal atas keberanian mereka dalam melawan penjajahan dan kontribusi mereka pada masyarakat. Pada buku “Women’s Participation in Local Politics in Aceh” mencatat bahwa terdapat 18 Perempuan berpengaruh dalam sejarah Aceh yang tercatat dari tahun 1353-1920. Sehingga terbukti kehadiran perempuan-perempuan ini membuktikan bahwa sejak dahulu, perempuan Aceh telah memainkan peran penting dalam sejarah, tidak hanya di ranah domestik tetapi juga dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.
Sejak Indonesia merdeka, Aceh telah menjadi wilayah integral dari NKRI yang terus bermasalah dengan pemerintah pusat. Aceh mengalami konflik yang berkepanjangan, dan berakhir damai dengan ditandai adanya Kesepakatan Helsinki tercapai melalui perundingan yang berlangsung lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005
Dapat disimpulkan bahwa beberapa tokoh perempuan yang sudah disebutkan, Kehidupan dan perjuangan tokoh perempuan tersebut patutlah menjadi sejarah. Kita dapat mengambil beberapa petikan mengenai peranan perempuan Aceh bahwa jejak langkah perempuan Aceh dalam peran aktifnya pada kehidupan sosial terutama masalah perempuan baik lokal, nasional, maupun internasional dapat dijadikan referensi oleh perempuan lainnya dalam melakukan perubahan untuk dirinya atau untuk orang lain. Di samping itu, tokoh-tokoh ini sangat berkonsentrasi terhadap masalah perempuan dan perdamaian sehingga lembaga-lembaga internasional berani memberikan penghargaan sesuai dengan fokus konsentrasi aktivitas mereka.
Penulis, :
Melsa Rayan SariSekretaris Duta Damai BNPT RI Regional Aceh