free page hit counter

Pemerintah, Anak Muda dan Minat-Bakat: Kolaborasi atau Sekedar Formalitas?

Duta Damai BNPT RI Regional Aceh – Membicarakan soal pemerintah, anak muda, dan penyaluran minat bakat adalah seperti menggambar tiga lingkaran besar, lalu mencoba membuatnya bertemu di satu titik-misi yang cukup rumit tapi bukan tidak mungkin. Di satu sisi, pemerintah menganggap anak muda sebagai “agen perubahan” (istilah keren yang sering dipakai dalam pidato). Di sisi lain, anak muda sering merasa bahwa pemerintah hanya ikut-ikutan “keren” tapi kurang mengerti cara efektif untuk menyalurkan minat dan bakat mereka. Pertanyaannya: benarkah demikian, atau hanya perspektif yang belum sinkron?

Pemerintah: Antara Visi, Misi, dan Kesiapan EksekusiTidak sedikit rencana dan program pemerintah yang fokus pada pengembangan minat dan bakat anak muda. Dari program pelatihan digital hingga kompetisi startup, semuanya terasa sangat menjanjikan di atas kertas. Namun, eksekusi sering kali menjadi soal yang lain. Misalnya, ketika pemerintah meluncurkan program beasiswa untuk anak-anak kreatif, apakah benar-benar kreatif yang mendapatkannya atau justru mereka yang “kreatif mencari celah”? Di sinilah sering terjadi ketidaksesuaian antara maksud dan realisasi.Satu hal yang menarik adalah bahwa sering kali konsep besar pemerintah terjebak pada pencitraan daripada substansi. Banyak anak muda yang ingin belajar, berkembang, atau mungkin hanya ingin didengar. Namun, saat mereka mencari dukungan, mereka malah kebingungan. Pemerintah terkadang terlalu sibuk membentuk program besar dengan istilah “revolusi industri 4.0” dan “digitalisasi” yang tampaknya sudah kelewat sering disebutkan. Lalu, di manakah anak muda yang tidak tertarik pada hal-hal “wah” seperti itu?

Anak Muda: Bakat Tak Melulu Berarti “Kreatif”Kreativitas, dalam pandangan anak muda, bukan sekedar soal menjadi pelukis, penyanyi, atau pemain sepak bola. Banyak anak muda yang juga berbakat di bidang seperti pertanian, otomotif, bahkan riset ilmiah yang kadang dilihat sebelah mata. Tapi sayangnya, program-program pemerintah kerap kali lebih mengutamakan bidang-bidang yang dianggap lebih “trendy” atau “kekinian”.Lihat saja, ketika pemerintah mengadakan festival startup. Anak-anak muda berlomba-lomba ikut, tapi berapa banyak yang benar-benar punya minat di bidang tersebut dan bukan sekadar “ikut-ikutan” karena trend? Bagaimana dengan anak muda yang punya minat di bidang yang tidak terlalu populer? Apakah mereka mendapatkan dukungan yang sama? Inilah salah satu hal yang sering luput dari perhatian, padahal semua bakat itu bernilai dan butuh support.

Penyaluran Minat Bakat: Harapan vs RealitaKalau kita bicara soal penyaluran minat bakat, yang terbayang adalah arena besar tempat setiap anak muda bisa menunjukkan kemampuan mereka tanpa batasan. Tapi kenyataannya, kerap kali acara-acara penyaluran bakat justru dipenuhi formalitas. Bakat atau minat menjadi seperti formalitas belaka, bukan sebagai wujud dari potensi.Ketika pemerintah menyelenggarakan lomba-lomba untuk penyaluran bakat, seringkali kriteria yang dibuat jauh dari jangkauan anak-anak muda. Banyak yang akhirnya merasa bahwa lomba-lomba atau kompetisi tersebut bukan wadah yang pas untuk mereka. Anak muda ingin wadah yang fleksibel, seru, dan tidak terjebak dalam serangkaian prosedur yang melelahkan.Bayangkan saja, misalnya, seorang anak muda berbakat dalam membuat konten media sosial. Tapi ketika ia masuk dalam perlombaan pemerintah yang “serius”, malah diminta membuat proposal formal panjang lebar. Belum lagi rentetan dokumen lainnya yang mesti dilengkapi. Ya, niat berkreasi jadi pupus karena keharusan “administratif” ini.

Kolaborasi: Solusi atau Beban Baru?Pemerintah, tentu saja, berusaha mencari solusi dengan merangkul komunitas anak muda. Bentuknya bisa berupa forum, seminar, atau bahkan pelatihan. Tapi sekali lagi, formatnya kadang malah membuat anak muda jadi malas ikut. Bukankah zaman sekarang ini anak muda lebih suka sesuatu yang kasual dan interaktif?Kolaborasi ini seharusnya menjadi solusi, tapi perlu disesuaikan. Bayangkan saja, mengundang anak-anak muda kreatif ke acara yang dipenuhi sambutan panjang dari pejabat. Tidak semua anak muda tahan menunggu sambutan setengah jam, bahkan kadang mereka sudah bosan di awal acara. Mungkin, pemerintah perlu mempertimbangkan format yang lebih ramah anak muda-berbincang langsung tanpa podium, tanpa jarak yang terlalu formal. Menjembatani gap ini perlu pendekatan kreatif yang lebih mendekatkan daripada sekadar seremonial.

Fenomena “Anak Muda Butuh Dengar” vs “Pemerintah Suka Bicara”Salah satu isu menarik dalam hubungan pemerintah dan anak muda adalah bahwa seringkali terjadi ketimpangan: anak muda ingin didengar, tapi pemerintah lebih suka bicara. Anak-anak muda ingin menyampaikan pendapat mereka, sedangkan pemerintah kerap kali terlalu sibuk dengan kata-kata formal, pengumuman, dan strategi komunikasi yang kadang terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.Sebagai contoh, ketika anak-anak muda mengutarakan pandangan mereka di media sosial, respons pemerintah sering kali berupa himbauan atau peringatan yang kaku. Padahal, jika pemerintah mau turun dan ikut berinteraksi secara lebih santai, hubungan ini bisa menjadi lebih cair dan produktif.

Apakah Pemerintah dan Anak Muda Bisa Menjadi Tim Satu Tujuan?Pada akhirnya, pemerintah dan anak muda sebenarnya memiliki tujuan yang sama: menciptakan Indonesia yang lebih baik. Namun, seperti dalam olahraga, kita tahu bahwa tidak semua tim kompak sejak awal. Butuh latihan, komunikasi, dan tentunya kesabaran.Pemerintah, sebagai pemain lama, perlu bersedia belajar dari anak muda tentang apa yang mereka inginkan dan butuhkan dalam menyalurkan minat bakat mereka. Jangan sampai pemerintah hanya menjadi penonton atau penilai yang kurang memahami bakat anak-anak muda sekarang. Begitu pula, anak muda perlu memahami bahwa meskipun jalannya lambat, perubahan di pemerintahan itu memerlukan waktu.

 

Kesimpulan: Merangkul Tanpa Memaksa, Mendukung Tanpa BerjarakBakat anak muda itu seperti benih yang bisa tumbuh subur jika mendapatkan tempat yang tepat. Tugas pemerintah bukan hanya memberikan wadah, tapi juga membiarkan anak muda merasa memiliki wadah itu. Dalam mendukung penyaluran minat dan bakat anak muda, pemerintah perlu mengurangi sentuhan birokratis dan memperbanyak sentuhan manusiawi. Anak muda yang kreatif, cerdas, dan penuh inisiatif adalah aset berharga yang harus dirangkul secara tulus, bukan sekadar formalitas.Jika ini bisa terjadi, mungkin suatu saat nanti anak-anak muda tidak lagi memandang pemerintah dengan skeptis. Mereka akan melihat pemerintah sebagai teman seperjuangan, bukan hanya sebagai ”pihak yang di atas sana”. Seperti kata pepatah: “Anak muda bukan sekadar penerus, tapi juga mitra masa depan”.

Penulis :

Benny SyuhadaDuta Damai BNPT RI Regional Aceh