Media sosial, oh media sosial! Tempat di mana kita bisa menjadi apa saja: traveler meski cuma ke warung sebelah, chef meski masak mie instan, atau fashionista walau cuma pinjam jaket teman. Di era digital ini, media sosial telah menjadi panggung yang megah untuk membentuk citra diri, dan ya, kadang-kadang panggung itu penuh drama, filter, dan sedikit dusta. Mari kita kupas bagaimana media sosial memengaruhi cara kita memandang diri sendiri tentu saja, dengan sedikit bumbu humor.
Filter: Transformasi Instan dan Perangkapnya
Siapa yang tidak suka filter? Dari membuat wajah kita terlihat mulus seperti porselen hingga menambahkan telinga kelinci yang lucu, filter adalah penyelamat pagi tanpa mandi dan rambut berantakan. Tapi hati-hati, sobat. Filter ini juga bisa menjadi jebakan psikologis.
Seseorang mungkin merasa lebih percaya diri setelah menambahkan filter “glow up,” tetapi apa yang terjadi ketika wajah asli bertemu cermin? Sebuah riset menyebutkan bahwa ketergantungan pada filter bisa merusak konsep diri. Bayangkan, filter saja sudah bikin glowing, tetapi cermin malah jujur tanpa ampun. Ujung-ujungnya, kita jadi lebih percaya pada aplikasi daripada diri sendiri. Tragis, bukan?
“Caption Estetis” : Kompetisi Kata-Kata Bijak
Pernahkah Anda membaca caption seseorang dan merasa seperti sedang membaca novel filsafat? “Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan.” Padahal, fotonya cuma selfie di depan cermin dengan latar belakang jemuran. Media sosial telah menciptakan perlombaan untuk tampil sebagai pemikir mendalam, meskipun terkadang isinya hanya hasil copy-paste dari Google.
Masalahnya, kita jadi terlalu sibuk menciptakan citra sebagai orang yang “intelek” atau “deep thinker” di dunia maya. Padahal, di dunia nyata, mungkin perjuangan kita hanya untuk bangun pagi tanpa menekan tombol snooze lima kali.
“FOMO” dan Standar Sosial yang Tidak Masuk Akal
FOMO alias “Fear of Missing Out” adalah salah satu efek samping paling berbahaya dari media sosial. Ketika kita melihat teman berlibur ke Bali, menghadiri konser, atau makan di restoran mahal, rasanya seperti hidup kita jadi kurang berarti. Tapi tunggu dulu, siapa yang tahu kalau liburan itu mungkin saja dibiayai kartu kredit, konser itu cuma sekali seumur hidup, dan makanan mahal itu hanya untuk konten?
Media sosial sering menciptakan standar sosial yang tidak realistis. Semua orang tampak bahagia, sukses, dan kaya. Padahal, realitanya bisa jauh berbeda. Sayangnya, banyak orang merasa tertekan untuk mengejar standar palsu ini, sehingga lupa menikmati hidup yang sebenarnya.
“Like” dan Validasi Diri
Mari kita bahas tentang tombol ajaib bernama “like.” Ada yang bilang, “Jumlah like tidak menentukan nilai diri.” Tapi, coba bayangkan jika Anda mengunggah foto dan hanya mendapat satu like, itu pun dari ibumu sendiri. Rasanya seperti menghadiri pesta ulang tahun sendiri, bukan?
Media sosial telah mengubah cara kita mencari validasi. Dulu, pujian cukup dari teman atau keluarga. Sekarang, kita butuh ratusan orang bahkan orang asing untuk mengatakan bahwa foto kita bagus atau outfit kita keren. Ini seperti lomba popularitas tanpa akhir yang melelahkan.
Kehidupan Asli vs Kehidupan Virtual
Hal paling lucu (dan ironis) adalah ketika kita terlalu sibuk membangun citra diri di media sosial hingga lupa menjalani kehidupan nyata. Contohnya, seseorang yang memotret makan malam romantis dengan pasangan hanya untuk Instagram, tetapi akhirnya makanannya dingin karena terlalu lama difoto.
Ada juga fenomena “photo dump,” di mana seseorang mengunggah kumpulan foto acak untuk menunjukkan bahwa hidup mereka “tidak peduli apa kata orang.” Ironisnya, tindakan ini justru menunjukkan seberapa besar mereka peduli.
Memahami Keseimbangan
Tentu saja, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Platform ini bisa menjadi alat untuk mengekspresikan diri, menjalin koneksi, dan bahkan mendapatkan peluang karier. Masalahnya muncul ketika kita terlalu terobsesi dengan citra virtual hingga melupakan nilai diri yang sebenarnya.
Mungkin solusinya adalah mencoba untuk lebih jujur di media sosial. Unggah foto tanpa filter sekali-sekali, tulis caption yang benar-benar menggambarkan perasaan Anda, dan jangan terlalu terobsesi dengan jumlah like. Lagipula, dunia nyata jauh lebih kompleks dan indah daripada sekadar grid Instagram atau feed TikTok.
Penutup
Media sosial adalah cermin yang kita poles sendiri. Kita bisa memilih untuk membuatnya tampak indah, tetapi jangan sampai melupakan wajah asli di balik pantulan itu. Jadi, jika Anda merasa kewalahan oleh tekanan media sosial, ingatlah bahwa hidup tidak harus selalu terlihat sempurna. Kadang-kadang, ketidaksempurnaanlah yang membuat kita lebih manusiawi dan, tentu saja, lebih lucu untuk diceritakan!
Jadi, mari bersosial media dengan bijak. Jangan lupa, di balik setiap filter dan caption keren, ada manusia biasa yang juga ingin bahagia sama seperti Anda
Penulis :
Benny Syuhada – Duta Damai BNPT RI Regional Aceh