Duta Damai BNPT RI Regional Aceh – Debat kandidat kepala daerah sering digadang-gadang sebagai ajang edukasi politik bagi pemilih. Di atas panggung, para calon kepala daerah memperlihatkan visi-misi dan rencana program yang (katanya) akan membawa daerah menuju kejayaan. Namun, mari kita jujur sejenak: apakah debat kandidat benar-benar menjadi sarana edukasi, atau justru ajang hiburan politik yang kerap mengundang gelak tawa dan memes media sosial?
Debat: Antara Panggung dan Pasar MalamPanggung debat kandidat, meskipun didekorasi megah dengan lampu gemerlap, sering kali terasa seperti pasar malam. Ada yang serius, ada yang mencoba melucu, ada pula yang sibuk menyerang lawan dengan bumbu sindiran tajam. Mungkin niat awalnya adalah menunjukkan kemampuan komunikasi dan kepemimpinan, tetapi tak jarang suasana berubah menjadi panggung komedi.Pernahkah Anda melihat kandidat yang lebih fokus pada gaya bicara ketimbang isi pembicaraan? Alih-alih menjawab pertanyaan moderator dengan argumen berbobot, ada yang malah melontarkan pantun. Mungkin ia berpikir pemilih butuh hiburan. Padahal, kalau hanya butuh pantun, kenapa tidak kita undang saja seniman lokal untuk menghibur?
Janji Manis atau Gula-gula Politik?Debat kandidat juga menjadi panggung bagi para calon untuk menyampaikan janji-janji manis yang sering kali terdengar seperti dongeng sebelum tidur. “Kami akan meningkatkan kesejahteraan, menciptakan lapangan kerja, dan memajukan pendidikan.” Slogan seperti itu bagus terdengar, tetapi sering kali nihil detail. Bagaimana caranya? Anggaran dari mana? Apa program konkretnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering terjawab dengan senyuman, bukan penjelasan.Lalu, ada pula kandidat yang gemar memberikan solusi instan. “Masalah banjir? Tinggal kita perbaiki drainase”. Seolah-olah memperbaiki drainase itu semudah mengganti selang di taman rumah. Pemilih yang kritis tentu mengharapkan penjabaran lebih mendalam, tetapi apa daya, kadang yang muncul hanya pemanis kata-kata.
Pemilih: Konsumen atau Penonton?Debat kandidat seharusnya menjadi momen bagi pemilih untuk mengenali siapa yang paling layak memimpin. Sayangnya, banyak dari kita lebih sibuk memperhatikan siapa yang paling lucu, paling tegas, atau paling tampan. Pada akhirnya, pemilih menjadi lebih seperti penonton acara televisi daripada konsumen politik yang cerdas.Media sosial pun memperparah situasi ini. Cuplikan debat yang viral sering kali bukan argumen mendalam, tetapi momen lucu atau blunder kandidat. Misalnya, salah ucap nama daerah, keliru menjawab pertanyaan, atau ekspresi wajah yang aneh. Edukasi politik? Yang ada malah “edukasi meme”.
Moderator: Guru atau Wasit?Moderator debat memiliki peran penting sebagai pengarah jalannya diskusi. Namun, sering kali moderator terjebak antara menjadi “guru” yang mengajarkan aturan main, atau “wasit” yang sibuk melerai debat kusir antar kandidat.Di beberapa debat, ada moderator yang terlihat terlalu lembut, sehingga kandidat bebas berbicara sesuka hati tanpa mematuhi waktu. Sebaliknya, ada pula yang terlalu tegas, sehingga debat terasa seperti sidang pengadilan. Dalam situasi ini, moderator sering kali menjadi sorotan, bahkan lebih populer dari kandidatnya sendiri.
Apa yang Harus Pemilih Perhatikan?Meski penuh dinamika, debat kandidat tetap memiliki nilai edukasi, asal pemilih tahu apa yang harus dicari. Berikut beberapa tips agar debat tidak hanya menjadi tontonan semata:
Cermati Isi, Bukan GayaJangan terpesona dengan cara bicara yang bombastis. Perhatikan apa yang disampaikan. Apakah argumennya logis dan relevan dengan kondisi daerah?
Telisik Janji dengan KritisSetiap janji politik harus diuji realitasnya. Tanyakan dalam hati: “Apakah ini masuk akal? Apakah ini mungkin dilakukan dalam waktu lima tahun?”
Perhatikan Rekam JejakDebat hanyalah salah satu aspek. Bandingkan jawaban kandidat dengan rekam jejak mereka. Apakah ada konsistensi antara ucapan dan tindakan sebelumnya?
Hindari Terjebak EmosiJangan mudah terprovokasi oleh retorika emosional atau serangan pribadi antar kandidat. Fokuslah pada solusi yang ditawarkan.
Diskusikan Hasil DebatSetelah debat, diskusikan dengan keluarga atau teman. Kadang, perspektif orang lain membantu kita melihat sesuatu yang terlewatkan.
Menghidupkan Debat sebagai Edukasi PolitikUntuk menjadikan debat kandidat sebagai sarana edukasi politik, ada beberapa hal yang perlu dibenahi:
Format yang Lebih InteraktifAlih-alih hanya menjawab pertanyaan moderator, kandidat bisa diberi tantangan untuk memecahkan studi kasus nyata. Misalnya, “Bagaimana Anda akan menangani masalah banjir di wilayah X dengan anggaran terbatas?”
Moderator yang Tegas dan NetralModerator harus mampu mengendalikan jalannya debat dengan tegas namun tetap adil. Jangan biarkan kandidat mendominasi atau keluar jalur.
Pemanfaatan TeknologiGunakan teknologi untuk menyajikan fakta secara langsung. Misalnya, jika kandidat berbicara tentang peningkatan ekonomi, tampilkan data ekonomi terkini di layar untuk membandingkan klaim mereka.
Penekanan pada Dialog, Bukan SeranganDebat seharusnya menjadi ajang diskusi gagasan, bukan arena saling menyerang. Aturan main yang tegas perlu diterapkan agar debat tidak berubah menjadi drama politik.
Kesimpulan: Pilihan Ada di Tangan PemilihDebat kandidat, meskipun sering penuh drama dan hiburan, tetap memiliki potensi besar sebagai alat edukasi politik. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kita sebagai pemilih. Apakah kita siap untuk menjadi pemilih yang cerdas, atau tetap puas sebagai penonton pasif yang hanya menikmati hiburan politik?Mari kita jadikan debat kandidat sebagai momen untuk belajar, bukan sekadar ajang mencari meme baru. Sebab, masa depan daerah ada di tangan kita, bukan di tangan panggung gemerlap dan retorika tanpa makna.
Penulis :
Benny SyuhadaDuta Damai BNPT RI Regional Aceh