Saat lampion merah menghiasi sudut kota dan suara tabuhan barongsai menggema di gang-gang sempit, kita tahu: Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili telah tiba. Namun, di balik warna merah dan gemerlap pesta, Imlek lebih dari sekadar perayaan etnis Tionghoa. Di Indonesia, Imlek adalah refleksi nyata dari keberagaman yang dirayakan dengan suka cita dan sedikit drama keluarga, tentunya.
Imlek di Nusantara: Dari Lampion hingga Lontong Cap Go Meh
Indonesia adalah rumah bagi berbagai tradisi unik, termasuk cara masing-masing daerah menyambut Imlek. Dari Medan hingga Makassar, Imlek tidak hanya dirayakan dengan cara yang khas Tionghoa, tetapi juga mendapat sentuhan lokal yang membuatnya semakin istimewa. Misalnya, di Pontianak, ritual sembahyang dan pawai naga menjadi tontonan wajib, sementara di Semarang, lontong cap go meh yang “berakulturasi” dengan bumbu khas Jawa menjadi sajian utama. Bahkan, di Manado, kita bisa menemukan bubur merah putih dengan ikan cakalang sebagai suguhan Imlek. Melalui makanan dan tradisi, keberagaman Indonesia tidak hanya dirayakan, tetapi juga dirasakan. Jadi, siapa bilang Imlek cuma soal angpao dan barongsai?
Angpao untuk Semua? Tidak Semudah Itu, Ferguso!
Angpao adalah bintang utama setiap Imlek. Amplop merah berisi uang ini menjadi simbol keberuntungan dan harapan baik. Namun, di Indonesia yang terkenal “rame,” tradisi angpao sering kali membawa warna-warni keunikan dan tantangan. Di sebuah keluarga besar, ada anak-anak yang “berburu” angpao dengan senyum termanis mereka. Sementara itu, para sepupu yang baru saja menikah mendadak merasa seperti bank berjalan. “Kok sekarang aku yang harus ngasih, sih? Padahal aku masih kredit motor!”
Namun, di Indonesia yang guyub, terkadang angpao melampaui sekat etnis. Teman non-Tionghoa yang ikut merayakan juga bisa kebagian angpao. Tapi jangan lupa, hukum tidak tertulisnya jelas: penerima angpao harus lebih muda, dan pemberi harus ikhlas—walau sambil menangis dalam hati.
Barongsai: Atraksi Budaya atau Kompetisi Tarik Uang?
Barongsai adalah salah satu bagian paling meriah dari Imlek. Di berbagai kota di Indonesia, tim barongsai bersaing menunjukkan keahlian mereka. Namun, jangan salah, penonton bukan hanya menikmati gerakan barongsai yang lentur, tetapi juga sibuk mempersiapkan amplop merah untuk “menghormati” sang naga.
Lucunya, di tengah kerumunan, sering ada momen dramatis:
- Anak kecil yang takut mendekat tetapi penasaran.
- Remaja yang sok cool tetapi akhirnya tertawa saat barongsai mendekat.
- Orang tua yang bingung, “Uangnya dimasukin ke mulut naga atau ditaruh di lantai?”
Namun, semua drama ini menjadi bukti betapa barongsai telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Imlek di Indonesia.
Keberagaman dalam Perayaan: Dari Gereja hingga Klenteng
Imlek di Indonesia adalah perayaan yang lintas batas, baik budaya maupun agama. Contohnya, banyak keluarga Tionghoa-Kristiani yang merayakan Imlek dengan misa khusus di gereja, sementara umat Konghucu atau Buddha meramaikan klenteng dengan ritual sembahyang. Yang menarik, di beberapa daerah, tetangga non-Tionghoa sering ikut meramaikan perayaan. Mereka membawa makanan khas daerah sebagai tanda hormat, atau bahkan ikut memeriahkan pawai dan acara komunitas.
Ini adalah cerminan indah bagaimana Indonesia bisa menyatu dalam perbedaan. Dalam suasana Imlek, tidak ada “kami” atau “mereka” hanya “kita,” yang sama-sama merayakan kegembiraan.
Imlek dan Media Sosial: Viral dan Multibudaya
Di era digital, Imlek tidak hanya dirayakan secara langsung, tetapi juga secara virtual. Media sosial penuh dengan unggahan tentang lampion, makanan khas, hingga “OOTD merah” ala selebgram.
Namun, di Indonesia yang penuh warna, unggahan Imlek sering mendapat sentuhan lokal:
- Foto keluarga dengan kebaya merah dan batik khas daerah.
- Video TikTok barongsai yang diberi iringan musik dangdut remix.
- Meme tentang “hoki” Imlek yang sering dikaitkan dengan nomor lotere (meski ini hanya guyonan, ya!).
Melalui media sosial, Imlek menjadi semakin inklusif. Siapa saja bisa merayakan, selama ada semangat berbagi dan rasa hormat pada tradisi.
Drama Keluarga: Tak Lepas dari Tradisi
Imlek adalah waktu berkumpul keluarga besar, dan ini berarti satu hal: drama!
- Tante yang selalu tanya, “Kapan kamu menikah?”
- Paman yang suka memamerkan bisnis terbarunya.
- Anak kecil yang tidak sabar menunggu angpao dan terus bertanya, “Kapan selesai sembahyangnya?”
Namun, di tengah semua drama, ada kebersamaan yang tidak ternilai. Di meja makan, cerita lama diulang, tawa berderai, dan perbedaan pendapat menjadi bumbu yang mempererat hubungan.
Imlek dan Masa Depan: Merayakan dengan Ramah Lingkungan
Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk merayakan Imlek dengan lebih ramah lingkungan. Misalnya, mengganti petasan dengan lampion listrik, atau mengurangi penggunaan plastik dalam dekorasi. Di Indonesia, beberapa komunitas Tionghoa bahkan mulai menggalang dana dari acara Imlek untuk kegiatan sosial, seperti membantu korban bencana atau mendukung pendidikan.
Ini adalah langkah yang tidak hanya merayakan keberuntungan, tetapi juga menyebarkannya kepada mereka yang membutuhkan.
Penutup: Imlek untuk Semua
Imlek di Indonesia bukan hanya milik masyarakat Tionghoa, tetapi milik kita semua. Dalam perayaan ini, kita belajar tentang berbagi, menghormati tradisi, dan merayakan keberagaman yang menjadi kekayaan negeri ini. Jadi, di tahun baru ini, mari kita sambut Imlek dengan semangat persaudaraan. Biarkan warna merah lampion menjadi simbol keberanian untuk terus menjaga harmoni, dan suara tabuhan barongsai menjadi irama yang menyatukan langkah kita.
Gong Xi Fa Cai! Selamat Tahun Baru Imlek 2576!
Semoga semua diberkati dengan rezeki, kebahagiaan, dan tawa tanpa henti karena hidup, seperti Imlek, lebih indah dengan sedikit humor di dalamnya.
Penulis :Â
Benny Syuhada – Duta Damai BNPT RI Regional Aceh